Keturunan Raja Alam Minangkabau di Pagaruyung yang terakhir: Prof. dr. R.H. Moechamadsjah Sastrawinangoen

Prof. dr. R H Moechamadsjah Sastrawinangoen yang lebih dikenal sebagai dr. Sastra adalah seorang guru besar ilmu kebidanan di Universitas Pajajaran (Unpad). Ia merupakan keturunan dari Tuanku Soeltan Alam Bagagarsjah Gelar Yang Dipertoean Hitam – Raja Alam Minangkabau di Pagaruyung terakhir yang diasingkan oleh Belanda ke Jakarta. Ia merupakan pendiri RS. Cibabat Cimahi, Jawa Barat dan Kepala Kesehatan Priangan Selatan, Tasikmalaya.

            Moechamadsjah lahir di Serang, Banten 6 Maret 1905. Ayahnya bernama Sutan Abdul Azis gelar R Sastrawinangoen bin Sutan Hoyong Bagalib Alam dan ibunya Maemunah binti Asikin Mas Sutadiwiria. Kakek Sutan Abdul Azis bernama Tuanku Soeltan Alam Bagagarsjah dari Minangkabau, bekas Raja Pagaruyung terakhir. Beliau berada di Jakarta, karena diasingkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai hukuman atas partisipasinya dalam Perang Padri (1822-1837). Pada tahun 1975 Sultan Alam Bagagarsjah yang dimakamkan di Mangga Dua Jakarta dimakamkan kembali di Taman Pahlawan Kalibata. Dengan surat keputusan Gubernur.Jenderal Hindia Belanda nomor 38/1881 tertanggal 10 Maret 1881 Sutan Abdul Azis berganti nama menjadi Sastrawinangoen, nama yang sesuai dengan lingkungan sosial budaya Banten, tempat ia dibesarkan.

            Moechmadsjah memulai masa pendidikannya sejak usia empat tahun. la memasuki Frobel School yang setingkat dengan taman kanak-kanak. Pada tahun l91l ia melanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS) di Serang. Setamatnya dari ELS Serang (1920) Moechamadsjah melanjutkan sekolahnya ke Mulo Ketabang di Surabaya. Pada waktu itu ia mengikuti kakaknya, Aboebakarsjah Sastrawinangoen yang menjadi kadaster (landmeter) di Surabaya. Soalnya, pada waktu ia berusia lima tahun (1911) ayahnya meninggal dunia. Selanjutnya, ia memasuki Algemeene Middelbaar School (AMS) bagian B (Mathematik) di Yogyakarta (1923-1926).

            Moechamadsjah tertarik pada bidang kedokteran, karena itu setamatnya dari AMS, ia mendaftarkan diri dan diterima di STOVIA Jakarta pada tahun 1926. Baru saja mengikuti perkuliahan selama tiga bulan, datang tawaran beasiswa untuk studi kedokteran di negeri Belanda. Jatah beasiswa itu merupakan pengganti berhubung dengan Slamet Iman Santoso mengundurkan diri. Beasiswa tersebut termasuk beasiswa bebas yang lamanya lima tahun dengan besarnya f 800,00/tahun. Tawaran itu segera ia terima, kemudian berangkat ke negeri Belanda dan belajar di Fakultas Kedokteran, Rijksuniversiteit, Leiden. Ia memilih jurusan medis.

            Pada tahun pertama Moechamadsjah dapat menyelesaikan perkuliahan tepat pada waktunya. Tetapi pada waktu ujian Candidat II (sarjana muda), ia mengalami kegagalan sampai dua kali (1929, 1930). Baru pada akhir 1930 program studi tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Kegagalan itu disebabkan oleh kelengahan akibat pengaruh lingkungan teman bergaul sesama mahasiswa Indonesia. Pada waktu itu umumnya mahasiswa Indonesia di Leiden adalah putera bupati yang dibiayai oleh orang tuanya dan mengikuti kuliah di Fakultas Hukum. Perkuliahan yang digunakan adalah sistem perkuliahan bebas. Artinya mahasiswa mempunyai kebebasan untuk mengikuti kuliah ataupun tidak, asalkan pada waktu ujian mengikutinya. Ternyata sistem ini tidak dapat diterapkan sepenuhnya di Fakultas Kedokteran, karena di samping kuliah, masih ada kegiatan praktikum. Moechamadsjah sering bepergian dengan temannya sehingga program studinya menjadi agak kacau.

            Sehubungan dengan telah didirikan Geneeskunde Hogeschool (GH, Sekolah Tinggi Ilmu Kedokteran) di Jakarta, setelah menempuh ujian Candidat II, pada bulan Mei Moechamadsjah diharuskan pulang ke tanah airnya untuk mengikuti kuliah di G.H. Keseluruhan program studi di GH diselesaikan pada tanggal 19 April 1936 dengan menyandang gelar arts. Ia langsung diterirna sebagai asisten di Bagian Gynaecol Obsteri, karena pada waktu ujian obsteri berhasil lulus dengan sangat baik. Di sini ia diberi kesempatan memperdalam ilmunya dengan mengikuti program pendidikan special gynaecole obsteri di bawah pimpinan Prof. R. Remmel.

            Pada tanggal 1 Agustus 1939 Moechamadsjah ditugaskan untuk bekerja di Kabupaten Bandung dengan kedudukan di Cimahi sebagai Indisch Arts. Sebagai dokter Kabupaten Bandung Moechamadsjah melayani poliklinik-poliklinik di beberapa pelosok; Cililin, Cipatat, Rajamandala, Cikalongwetan, Cipeundeuy, Cimareme, dan juga Rancaekek dan Cicalengka, selain Cimahi sendiri. Di samping itu, ia juga sering mengunjungi langsung pasien-pasien di tempat tinggalnya. Ia pemah menolong orang yang susah bersalin pada malam hari di sebuah kampung di Kecamatan Gununghalu yang berjarak 18 km dari kota Kecamatan Gununghalu dan hanya dapat dicapai dengan jalan kaki. Hal itu dijalaninya sampai jam 06.00 pagi dan tanpa dipungut bayaran. Di kalangan masyarakat Cimahi dan sekitarnya ia dikenal baik dan luas dengan sebutan Dokter Sastra.

Pada masa pendudukan militer Jepang (sejak 1942) sangat .dirasakan oleh masyarakat dan pemerintah setempat perlu adanya. rumah sakit umum di Cimahi. Soalnya, hingga waktu itu di Cimahi hanya ada rumah sakit militer, sehingga bila ada penduduk setempat yang sakit cukup gawat biasa dibawa ke Bandung dan dirawat di rumah sakit Rancabadak. Dr. Moechamadsjah Sastrawinangoen merintis jalan bagi pembukaan rumah sakit di Cimahi. Atas bantuan pihak militer Jepang ia memperoleh sebuah kompleks bangunan yang cukup luas untuk ditempati rumah sakit. Maka dibukalah rumah sakit di Cimahi dibawah pimpinannya. Rumah sakit tersebut seperti sebuah bangunan besar, bekas rumah orang Belanda kaya yang memiliki perusahaan ternak. Tempat tidur. pasiennya didatangkan dari Rajamandala. Pembantunya terdiri atas mantri pes. Hampir setiap hari 160 orang pasien datang untuk berobat ke rumah sakit ini. Rumah sakit itu sekarang terkenal dengan Rumah Sakit Umum Cibabat, Cimahi.

Pada zaman revolusi kemerdekaan (1946) Moechamadsjah mendapat perintah dari pimpinan perjuangan revolusi Indonesia agar mengungsikan rumah sakit supaya tidak digunakan oleh musuh. Sebagai pimpinan rumah sakit, Moechamadsjah mengambil kebijaksanaan memindahkan tempat kegiatan rumah sakit itu secara berangsur-angsur. Pertama-tama kegiatan rumah sakit itu dipindahkan ke Cihanjuang, kemudian ke Cisarua (keduanya menempati komplek peternakan) di Bandung utara, selanjutnya ke Batujajar, Cililin, Ciwidey di Bandung Selatan. Berhubung dengan pertempuran makin memuncak di daerah Bandung Selatan yang mengakibatkan banyak jatuh korban di kalangan pejuang dan rakyat, Moechamasdjah ditugaskan merawat para korban itu, antara lain para korban bombardemen Belanda atas Banjaran. Ia ditempatkan di Sadu, Soreang. Tetapi karena keadaan Soreang makin berbahaya, ia dipindahkan ke Ciwidey. Di sini ia mendapat tugas baru dengan diangkat menjadi Kepala Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya. Belum lama menjalankan tugas di Tasikmalaya, kota itu dibom oleh Belanda sehingga ia mengungsi ke daerah selatan Tasikmalaya, seperti Sukaraja, Karangnunggal, dan daerah lain yang belum terjamah oleh Jepang (1947). Ia menjadi dokter rombongan Gubernur Jawa Barat Sewaka. Sesudah tercapai persetujuan Renville (1948), ia diberi tugas mengepalai Rumah Sakit Umum Tasikmalaya. Pada tahun 1949 ia diangkat sebagai pimpinan Sekolah Bidan di Bandung dan sebagai dokter Rumah Sakit Rancabadak. Pada tahun itu juga ia memperdalam (post graduate) ilmu kedokteran bidang obsteri di Amsterdam dan Leiden (negeri Belanda) selama enam bulan.

Pada waktu Fakultas Kedokteran digabungkan dengan Universitas Padjadjaran tahun 1958, atas permintaan Rektor Unpad Prof. Iwa Kusuma Sumantri, SH., Moechamadsjah diangkat menjadi dosen Unpad dan juga pernah sebagai Kepala Bagian Gyneacologi Obsteri.

Pada bulan Oktober 1963 Moechamadsjah berangkat ke Toronto (Kanada) untuk menambah lagi ilmunya. Di sana ia memperdalam bidang obsteri yang telah lama ditekuninya. Tak lama sekembalinya dari Kanada (Januari 1965), ia diangkat menjadi guru besar dalam Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Moechamadsjah merupakan guru besar yang kedua dari seluruhnya 4 orang yang diangkat menjadi guru besar di Fakultas Kedokteran Unpad pada tahun 1965.

Tatkala· Dekan Fakultas Kedokteran Unpad dipegang oleh dr. Soedjatmo Soemowerdojo (1967-1968), Prof dr. R.M. Sastrawinangoen diangkat menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademis. Mulai tahun 1971 ia menjalani masa pensiun. R.H. Moechamadsjah Sastrawinangoen menikah dengan Halimah Toesa’adiah binti R Danoekoesoemah setelah menjadi asisten di GH. Dari pernikahan itu dianugrahi anak sebanyak 7 orang: NR Situ Rafiah, R Machmuddin, NR Siti Darwisjah, NR Siti Mariam, NR Siti Miraj Rahmat, NR Siti Isnainiah, NR Siti Hadidjah. Ia meninggal dunia di Bandung, 20 November 1997.

Sumber:
• Biografi Nasional “Guru Besar–Guru Besar Perguruan Tinggi di Jawa Barat” (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1983-1984)

Ciputat, Agustus 2022

Leave a comment