EMAS PAPUA: Karunia yang Menuai Bencana

Resensi buku “The Incubus of Intervention: Conflict Indonesian Strategies of John F. Kennedy and Allen Dulles

PROLOG:

Tanggal 22 November 1963, Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy ditembak oleh Lee Harvey Oswald ketika berada dalam iring-iringan mobil terbuka di pusat kota Dallas. Menurut sejumlah media, satu jam setelah menembak Kennedy, Oswald membunuh seorang polisi yang menanyainya di jalan dan setengah jam setelah itu, polisi menangkapnya di sebuah gedung bioskop. Oswald secara resmi didakwa bersalah atas pembunuhan Presiden Kennedy dan polisi pada 23 November 1963.
Esoknya, 24 November 1963, Oswald dibawa ke ruang bawah tanah di markas besar Kepolisian Dallas yang kemudian akan dipindahkan ke penjara nasional yang lebih aman. Prosesi pemindahan Oswald tersebut disiarkan secara langsung oleh sejumlah televisi nasional. Saat Oswald memasuki ruangan, Jack Ruby, seorang pemilik klub malam di Dallas tiba-tiba muncul dari balik kerumunan pers dan menembak Oswald dengan revolver 38 dari jarak sangat dekat. Ia diduga memiliki koneksi dengan kelompok penjahat dan sejumlah polisi Dallas.
Banyak orang percaya bahwa pembunuhan yang dilakukan Ruby terhadap Oswald untuk menutupi konspirasi yang lebih besar atas pembunuhan Kennedy. Dalam persidangannya, Ruby membantah tuduhan itu dan mengaku tak bersalah. Ia menderita epilepsi psikomotorik dan mengaku tidak sadar saat menembak Oswald. Namun hakim memvonisnya bersalah dan menjatuhkan hukuman mati. Akan tetapi sebelum menjalani hukuman, Ruby terlebih dahulu mati akibat kanker paru-paru di Rumah Sakit Dallas.
Hingga kini peristiwa tewasnya John F. Kennedy tetap menjadi misteri dan belum terungkap siapa sesungguhnya dalang besar di balik pembunuhan tersebut.

Misteri Mulai Terungkap

Buku “The Incubus of Intervention: Conflict Indonesian Strategies of John F. Kennedy and Allen Dulles” yang ditulis oleh Dr. Greg Poulgrain, seorang penulis dan dosen Sejarah Politik Indonesia dari Sunshine Coast University, Brisbane, Australia mencoba menjawab misteri pembunuhan tersebut setelah melakukan penelitian yang mendalam selama 30 tahun. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bayang-Bayang Intervensi: Perang Siasat John F. Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno” pada 2017. Menurut Greg, pembunuhan Kennedy erat hubungannya dengan kekayaan tanah Papua.
Saat launching bukunya dalam versi Indonesia, Greg menyebut, “Sejak awal berdirinya, PT. Freeport sudah sarat kontroversi. Ekspansi bisnis perusahaan asal Amerika Serikat itu masuk saat peralihan rezim Sukarno ke Soeharto. Sehingga praktis, Freeport menginjakkan kaki di tanah Papua sewaktu Sukarno tak lagi punya kuasa dan kedigdayaan berada di tangan Soeharto.”

Selama 30 tahun, Greg Poulgrain mempelajari fakta-fakta yang menguatkan dugaannya itu lewat sumber primer maupun sekunder bahkan mewawancarai langsung tokoh-tokoh kuncinya.
“Allan Dulles berusaha menggulingkan Sukarno karena sudah lama ia mengincar kekayaan alam Indonesia bahkan sebelum John F. Kennedy memimpin Amerika Serikat,” ungkap Greg.
Tapi barangkali pertanyaan pertama yang muncul di benak masyarakat awam adalah, siapakah sesungguhnya Allen Dulles itu?

Ikrar Nusa Bhakti, Peneliti LIPI yang kini menjadi Duta Besar untuk Tunisia memberikan pengantar yang cukup blak-blakan di buku Bayang-Bayang Intervensi: Perang Siasat John F. Kennedy dan Allen Dulles atas Sukarno tersebut.
Menurut Ikrar, Direktur Sentral Intelijen Amerika Allen Welsh Dulles adalah orang yang mengelola dan memonopoli informasi, baik kepada Presiden Dwight D. Eisenhower maupun kepada penerusnya Presiden John F. Kennedy. Ia bisa memberikan informasi yang salah kepada Presiden yang dapat mengalahkan informasi resmi yang dikirim kedutaan besar AS di Indonesia. Juga tidak jelas apakah ia melakukan disinformasi kepada pemerintah AS dan kalangan militer di Indonesia, ataukah ia memiliki dilusi mengenai impian politik ekonomi dirinya terhadap Indonesia terkait dengan gunung emas, perak dan tembaga di Irian Jaya (Papua). Kegiatan intelijen bisa juga terkait dengan intelijen hitam yang berhubungan dengan pembunuhan tokoh-tokoh politik. Ia dan kakaknya, John Foster Dulles (Menlu AS di era Eisenhower) punya hubungan yang sangat dekat dengan kemaharajaan minyak Rockefeller.
Ikrar menyebut bahwa Allan Dulles adalah sosok anggota badan pusat intelijen (CIA) yang legendaris. Masa hidupnya dihabiskan sebagai anggota dan kemudian direktur CIA, mengalami dua kali Perang Dunia dan aktif di badan intelijen selama tujuh kali masa kepresidenan. Ia dekat dengan raksasa perusahaan tambang dan minyak Rockefeller karena pernah bekerja sebagai firma hukum yang bekerja untuk Rockefeller. Sejak ahli geologi Belanda menemukan gunung emas di Nederlands Nieuw Guinea di tahun 1936, Dulles yang mendapatkan informasi tersebut mengupayakan kerja sama Belanda dengan Rockefeller, tetapi gagal. Ambisinya ini tetap ada dalam dirinya hingga tahun 1960 an.

Dalam kaitan itulah buku Greg Poulgrain berusaha mengupas rahasia yang terkandung dibalik sejumlah peristiwa dan pembunuhan yang terkait dengan gunung emas Papua tersebut.
Ada tiga tahapan yang dilakukan Dulles mengenai Indonesia. Tahap pertama, dan ini yang tidak diketahui oleh Kennedy sebelumnya, Dulles ternyata selama enam tahun telah terlibat dalam politik domestik di Indonesia, khususnya dalam menciptakan pemberontakan daerah di Sumatera (PRRI) dan di Sulawesi Utara (Permesta). Kekuatan tentara pemberontak sebenarnya amat lemah dan dapat diselesaikan oleh tantara dibawah komando Jakarta dalam waktu dua minggu. Namun melalui bantuan CIA, pemberontakan dapat diperpanjang selama dua tahun bahkan lebih sejak 1957/1958. Kedua, tentara khususnya TNI-AD di tingkat pusat akhirnya dapat mengalahkan tentara pemberontak. Dengan demikian, semua jajaran TNI-AD berada di bawah komando panglima di Jakarta dan mengurangi jumlah panglima-panglima perang di daerah. Satunya komando tentara di bawah komando Jakarta menjadikan TNI-AD semakin kuat dan penyeimbang terhadap kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Langkah ketiga, Dulles selalu membuat peristiwa-peristiwa politik yang membuat Presiden Sukarno tidak mampu mengkonsolidasikan kekuasaannya dan mengurus ekonomi dengan baik. Setelah selesai dengan perjuangan Irian Barat, Sukarno disibukkan oleh Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Bukan Sukarno yang menginisiasi konfrontasi, melainkan Menteri Luar Negeri Soebandrio yang saat itu menduduki posisi sebagai Direktur Badan Pusat Intelijen (BPI). Soebandrio sendiri, menurut Poulgrain, amat dekat dengan Inggris dan diduga juga dengan badan intelijen Inggris MI-6. Karena itu Soebandrio tidak mau diwawancarai oleh Poulgrain, karena marah akibat pernah disebut soal kedekatannya dengan Inggris. Pada tingkat politik domestik, Dulles terus menerus berupaya untuk menggulingkan Sukarno dengan berbagai cara, dari upaya pembunuhan sampai ke mencari seorang jenderal yang dapat mengganti posisi Sukarno sebagai pemimpin Indonesia.

Kenapa Sukarno harus disingkirkan? Jawabnya, jika Sukarno tetap berkuasa, amat sulit bagi Dulles untuk mendapatkan atau menguasai Gunung Emas di Papua yang sudah menjadi milik Indonesia, karena Sukarno seorang nasionalis yang tidak mau tunduk pada imperialisme baru AS.

Bagaimana strategi Kennedy soal Indonesia? Kennedy tahu bahwa di era Eisenhower, AS menerapkan “Passive neutrality policy” dalam hal Irian Barat yang tentunya menguntungkan Belanda. Apalagi Menlu AS saat itu, John Foster Dulles, amat kesal pada politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Indonesia juga adalah negara pejuang kemerdekaan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang diawali dengan diadakannya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung 1955. Indonesia juga amat menentang hak veto negara-negara pemenang Perang Dunia II. Indonesia juga pernah menantang dominasi AS di PBB dengan membentuk New Emerging Forces (Nefos).

Kennedy tentunya memiliki kebijakan politik yang berbeda terhadap Indonesia. Indonesia adalah negara terbesar di Asia Tenggara, karena itu harus didekati. Kennedy juga melihat Sukarno lebih sebagai nasionalis, walau ia dekat dengan PKI.

Pada langkah awal, Kennedy ingin mengetahui posisi Indonesia dalam persoalan Irian Barat. Ia mengutus adiknya, Jaksa Agung Robert Kennedy ke Jakarta untuk menemui Sukarno, tokoh-tokoh politik, dan TNI, sekaligus juga dating ke kampus UI Salemba untuk berbicara dengan mahasiswa. Dari situ Kennedy tahu bahwa Presiden Sukarno mendapatkan dukungan kuat dari rakyat, politisi dan TNI dalam pembebasan Irian Barat. Kennedy juga bertemu dengan Sukarno yang kebetulan dating ke Washington D.C. untuk menjelaskan dibentuknya Gerakan Non Blok (Non-aligned Movement). Kesempatan ini digunakan Bung Karno untuk menjelaskan perjuangan Irian Barat kepada Kennedy. Sukarno juga menjelaskan, bahwa pilot CIA, Allen Pope, masih ditahan di Indonesia dan akan dilepaskan jika AS mendukung Indonesia soal Irian Barat. Sebagai catatan, Allan Pope baru dilepaskan pada 15 Agustus 1962 pas pada saat Indonesia-Belanda menandatangani Perjanjian New York yang menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia.
Langkah kedua, Kennedy memerintahkan Duta Besar AS di New Delhi, Elsworth Bunker, untuk menjadi mediator dalam perundingan antara Indonesia dan Belanda soal Irian Barat. Indonesia menerima tawaran AS soal Elsworth Bunker sebagai mediator. Langkah ketiga, Kennedy mengadakan pertemuan dengan Menlu Belanda Joseph Luns. Pada pertemuan itu, Kennedy bertanya apakah Belanda ingin berperang dengan Indonesia soal Irian Barat? Jika ya, AS tidak ingin membantu karena itu akan membuat mandala perang baru antara AS dan Uni Soviet di Asia Tenggara. Bagi AS, Indonesia harus dirangkul agar dekat dengan AS. Bagi Kennedy maupun Sukarno hanya melihat Irian Barat dari sisi geopolitik dan geostrategis serta persoalan kedaulatan politik semata. Keduanya tidak mengetahui bahwa Irian Barat memiliki kekayaan alam yang begitu kaya. Tak heran jika Belanda pada Konferensi Meja Bundar, 27 Desember 1949, hanya menyerahkan kedaulatan di Hindia Belanda kepada Indonesia, tanpa menyerahkan Irian Barat.
Langkah keempat, setelah ditandatanganinya persetujuan New York antara Indonesia dan Belanda, Kennedy ingin menerapkan suatu kebijakan merangkul Indonesia dengan memberikan bantuan sosial ekonomi kepada rakyat miskin agar mereka tidak jatuh ke tangan PKI. Namun apa lacur, Indonesia malah menerapkan politik Konfrontasi Indonesia-Malaysia yang lagi-lagi diciptakan oleh Allan Dulles melalui kerja sama CIA dan MI-6 agar Sukarno selalu sibuk dengan politik dan tak punya waktu membangun Indonesia dan mengkonsolidasikan kekuasaannya untuk Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Kennedy tentunya mengalami kesulitan untuk membantu ekonomi Indonesia karena Kongres dan para penasihat keamanannya tidak mendukungnya. Kennedy menghubungi Sukarno dan akhirnya sepakat bahwa pada kunjungan Presiden Kennedy ke Jakarta pada awal 1964, Kennedy akan menjadi saksi bahwa Presiden Sukarno akan menyatakan penghentian Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Namun, malang tak dapat ditolak, Kennedy ditembak mati saat ia naik kendaraan terbuka di Dallas bulan November 1963. Orang yang diduga membunuh Kennedy adalah Lee Harvey Oswald, walaupun menurut Poulgrain tidak tertutup kemungkinan CIA khususnya Allan Dulles menjadi otak pembunuhan Kennedy. Anehnya, Allan Dulles malah dilantik oleh Presiden Johnson sebagai anggota pertama dari tujuh anggota Komisi Chief Justice Earl Warren untuk menyelidiki kasus pembunuhan Kennedy. Kesimpulan dari komisi adalah, pembunuhan Kennedy dilakukan oleh satu orang, yaitu Lee Harvey Oswald.
Kita semua tahu bahwa JFK tidak pernah pergi ke Indonesia pada tahun 1964, dan strategi damai untuk membawa Indonesia ke pihak Amerika dan meredakan ketegangan dalam Perang Dingin tidak pernah terwujud. Dan usulan Kennedy mengenai penarikan pasukan Amerika dari Vietnam, yang didasarkan pada kesuksesan di Indonesia, dengan cepat dibatalkan oleh Presiden Lyndon Johnson pasca pembunuhan JFK. Tak lama kemudian, kedua negara ini mengalami pembantaian massal yang direkayasa oleh lawan Kennedy di CIA dan Pentagon. Jutaan nyawa melayang. Selanjutnya, mulai bulan Desember 1975, diktator Indonesia yang didukung oleh Amerika, Soeharto, membantai ratusan ribu orang Timor-Leste dengan senjata Amerika setelah bertemu dengan Henry Kissinger dan Presiden Ford dan menerima persetujuan mereka.

Dalam buku ini Poulgrain juga menjelaskan bukan hanya Kennedy yang dibunuh, melainkan juga Sekjen PBB Dag Hammarskhjold di Kongo karena ia tidak mendukung West New Guinea menjadi milik Indonesia atau Belanda, melainkan menjadi milik penduduk asli di daerah gunung emas itu.

Babak politik selanjutnya di Indonesia kita tahu, terjadi peryumpahan darah yang didahului dengan peristiwa 30 September 1965, muncul Surat Perintah 11 Maret 1966 dari Sukarno kepada Soeharto, Pidato Nawaksara Sukarno dua kali ditolak di MPRS-RI dan Soeharto akhirnya menggantikan Sukarno pada 1966. Saat Sukarno berada di tahanan rumah di Wisma Yaso, kini Museum TNI Satria Mandala, ia menandatangani UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing yang membuka jalan bagi Freeport Indonesia untuk beroperasi di Indonesia sejak 1972.
Itulah strategi yang saling bertentangan antara Kennedy dan Dulles soal Indonesia.

Dengan membaca buku ini kita bukan saja mendapatkan informasi baru mengenai sejarah politik Indonesia dan konteks politik domestik dan internasional, melainkan juga dari sisi kerja-kerja intelijen AS. Buku ini mengisahkan betapa seorang pimpinan badan intelijen AS bisa saja melakukan operasi rahasia bernilai jutaan dollar AS di Indonesia, terbesar kedua setelah Vietnam, bukan untuk kepentingan negara atau bahkan kepentingan CIA, melainkan untuk kepentingan pribadi sang direktur yang terobsesi ingin menguasai tambang emas, perak, dan tembaga untuk Rockefeller Mining and Oil Company. Hanya untuk memenuhi ambisi ekonominya itu, Allah Dulles tega mendalangi pemberontakan di Indonesia, membunuh tokoh-tokoh politik pada tingkatan negara di AS dan Indonesia, bahkan pada tingkat Sekjen PBB.
Bahkan bapak intelijen Indonesia, Zulkifli Lubis, sampai-sampai terkesima dan merasa tertipu oleh sepak terjang Allen Dulles. Itulah kecanggihan Allen Dulles, ia bisa melakukan disinformasi terhadap siapa pun, bahkan kepada Presiden Kennedy yang seharusnya mendapatkan informasi yang akurat dan orang yang harusnya ia lindungi.

Buku ini mungkin saja penuh dengan kontroversi, apalagi bagi mereka yang selama ini mendapatkan informasi terbatas pada era Orde Baru. Namun buku ini membuka mata kita bahwa operasi rahasia intelijen itu tidak selamanya sejalan dengan kepentingan negara atau institusi intelijen, apalagi jika direkturnya memiliki kepentingan politik dan ekonomi yang berbeda. Karena itu, pengawasan atas kerja-kerja intelinjen pada tingkat internal, eksternal, legislatif, dan pada tingkatan publik menjadi keniscayaan, jika kita tidak ingin terjadi Kembali operasi intelijen seperti yang dilakukan Allen Dulles.

Ciputat, 16 Juni 2021.

Leave a comment