Arma Abdoellah, Guru Besar Olahraga di Tanah Rantau

Arma Abdoellah adalah Komandan Pasukan Tentara Pelajar pada saat serah terima kota Bukittinggi dari Belanda ke pemerintah RI di akhir 1949. Dalam perjalanan karirnya Arma berperan aktif dalam perwasitan dan juri di pesta olahraga Asian Games IV pada tahun 1962, Ganefo I di tahun 1963 dan menjadi Staf Pribadi Menteri Olah Raga Maladi (1963-1966). Ia terpilih sebagai Ketua (setingkat Rektor) Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Yogyakarta dan kemudian sebagai Rektor IKIP Yogyakarta ke-6 sebelum pensiun di tahun 1991.    

Foto Arma semasa kecil bersama ayahnya (Abdoellah-kiri) dan pamannya (Assaat-kanan)

Nama Arma Abdoellah mungkin tidak banyak dikenal orang. Ia bukanlah sosok yang glamour ibarat figur politik atau artis terkenal. Arma yang bersuku Caniago dilahirkan tanggal 29 April 1927 di Padang, anak keenam dari dua belas bersaudara dari pasangan Abdoellah Sutan Bandaro Panjang dan Afifah. Ayahnya berasal dari Banuhampu, merupakan kakak kandung Mr. Assaat yang pernah menjabat Acting Presiden RI di era RIS pada awal 1950 yang berpusat di Jogjakarta. Abdoellah merupakan salah satu pendiri partai Murba, dan dikenal dekat dengan Tan Malaka. Sedangkan ibunya, Afifah merupakan putri dari salah satu ulama Minangkabau asal Padang Panjang, yaitu Syekh H. Abdul Madjid Karim, yang dikenal sebagai salah satu pendiri dari Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang.

Sekilas tentang Abdoellah Sutan Bandaro Panjang

Abdoellah Sutan Bandaro Panjang sendiri merupakan pejuang kemerdekaan yang sehari-hari berprofesi sebagai guru di Hogere-Inlandsche School (HIS) Adabiah Padang. Profesinya sebagai seorang guru tidak lepas dari dirinya yang merupakan lulusan Kweekschool Fort de Kock (Sekolah Raja) bersama dengan sahabatnya, Tan Malaka. Ketika Agresi Militer Kedua Belanda tahun 1949 meletus, Abdoellah turut aktif dalam perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Presiden Syafruddin Prawiranegara bersama dengan Chatib Sulaeman, Abdoellah menjadi salah satu staf Dewan Pertahanan Daerah (DPD) yang berada di bawah wewenang Gubernur Militer Sumatera Barat, Sutan Mohammad Rasyid. Ia ikut dalam rombongan Gubernur Militer menyusuri hutan-hutan di Sumatera Barat untuk menghindari serangan sekaligus menyusun strategi melawan agresi yang sedang dilancarkan Belanda.

Cerita lain mengenai sosok ayahnya dalam ingatan Arma ialah ketika dia sering mendapati berbagai surat yang datang ke rumahnya beralamatkan pulau Jawa dari para kurir pos. Surat-surat itu selalu dikirim oleh seseorang dari tempat yang sama kepada ayahnya. Penasaran akan hal itu akhirnya Arma bertanya kepada ayahnya, “Siapa yang sering mengirimi surat ke rumah?”, “Ada urusan apa sehingga sering berkirim surat dengan orang yang jauh dari kampung halamannya itu?” Oleh ayahnya, Arma diberitahu bahwa orang yang sering berkirim surat kepadanya ialah Husain, temannya ketika bersekolah dahulu. Melalui Husain ayahnya juga mendapatkan kabar tentang proklamasi kemerdekaan. Dijelaskan pula bahwa Husain merupakan sosok yang bernama asli Sutan Ibrahim Malaka, atau dikenal oleh banyak orang dengan Tan Malaka, seorang tokoh komunis dan teman dekat dirinya. Abdoellah dan Tan Malaka merupakan sahabat karib sejak sekolah dahulu. Mereka pertama kali bertemu ketika bersekolah di Kweekschool Fort de Kock sekitar tahun 1908 hingga 1913. Di sana Tan Malaka yang dikenal sebagai anak yang supel dan pandai bergaul menjadi daya tarik tersendiri bagi Abdoellah dan teman-teman sekolah lainnya. Selain itu, Tan Malaka juga merupakan siswa yang cerdas. Maka tak heran, banyak yang mengenal dirinya, dan teman-temannya sesama siswa dan guru-guru di sana pun senang kepadanya. Dari hal itulah kemudian Abdoellah dapat berteman dengannya. Tan Malaka sendiri juga senang terhadap sosok Abdoellah hingga akhirnya berteman baik. Sampai pada tahun terakhir dan kelulusannya dari Kweekschool, mereka sering menghabiskan waktu bersama, berdiskusi, belajar, dan bermain.

Setelah lulus, mereka berdua melanjutkan kehidupannya masing-masing di tempat yang berbeda. Abdoellah berkarir sebagai guru di Padang, sedangkan Tan Malaka melanjutkan studinya di Rijkskweekschool di Belanda. Meski sudah terpisah jauh, mereka berdua masih berkomunikasi dengan surat-menyurat. Setelah kepulangan Tan Malaka ke Indonesia dari pengasingannya, mereka berdua bertemu kembali dan berjuang bersama menghadapi Belanda, terutama ketika Revolusi Fisik.

Kedekatan mereka berdua dapat dilihat jelas saat Tan Malaka dipenjara di Magelang pasca dianggap sebagai dalang penculikan Sutan Sjahrir. Abdoellah adalah orang pertama yang diizinkan dan dapat menjenguk langsung Tan Malaka. Dalam otobiografinya, Tan Malaka memuji Abdoellah yang disebutnya sebagai “wakil rakyat Sumatera yang dapat menerobos tirai besi” dalam kaitannya dengan kedatangan Abdoellah ke penjara tempat dirinya ditahan. Sekembalinya dari Magelang, Abdoellah kemudian mendirikan cabang Partai Murba di Sumatera Barat. Dilihat dari hal tersebut, pendirian Partai Murba jelas menjadi salah satu pembicaraan utama mereka selama bertemu di Magelang. Bersama dengan Chatib Sulaeman, Abdoellah didapuk menjadi pimpinan partai yang didirikan oleh sahabatnya itu di daerah Sumatera Barat, kampung halaman mereka.

Dari Pra Kemerdekaan hingga Menjadi Tentara Pelajar

Menjelang kemerdekaan Republik Indonesia, sekitar April 1945, kota Padang yang waktu itu berstatus ibu kota keresidenan Sumbar (Nishi kaigan-shu) ikut menyambut Fajar Kemerdekaan dengan ungkapan perayaan yang puncaknya berupa upacara penaikan bendera Merah Putih di samping bendera Hinomaru Jepang. Upacara ini dilaksanakan di lapangan Nanpo Ho-do (sekarang Lapangan Imam Bonjol). Berbagai anggota dan lapisan masyarakat kota Padang terutama murid sekolah dikerahkan menghadiri upacara penaikan bendera tersebut. Dalam upacara ini, Arma ditugaskan sebagai pembawa bendera Hinomaru, berdampingan dengan pelajar lain, Adrin Kahar (di kemudian hari menjadi Rektor Universitas Bung Hatta Padang) yang membawa bendera Merah Putih. Dari lapangan Dipo (sekarang lapangan tenis dan kompleks tentara dekat DKK, Jalan Diponegoro) ke Nanpo Ho-do untuk dikerek pada tiang yang sudah tersedia di muka sebuah podium. Acara penaikan bendera di lapangan Nanpo Ho-do dihadiri oleh pelajar tersusun dalam barisan teratur dan tertib sedangkan rakyat ramai meyaksikan berkeliling.

Keterlibatan Arma sebagai tentara pelajar di Sumatera Tengah berawal sebelum terjadinya Agresi Militer Belanda II pada 18 Desember 1948. Arma yang ketika itu  merupakan  siswa SMT (Sekolah Menengah Tinggi) Bukittinggi telah mendapat latihan militer yang cukup intensif dalam rangka mempersiapkan para pemuda terdidik untuk ikut mempertahankan Republik Indonesia. Maka ketika Belanda menyerbu kota Bukittinggi, Arma ambil bagian membumihanguskan beberapa instansi pemerintah yang vital sesuai dengan perintah yang diberikan, sebelum menyingkir ke luar kota. Untuk beberapa waktu lamanya Arma turut berjuang dengan bergerilya.

Ketika kota Bukittinggi diserahkan kembali oleh Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia pada 7 Desember 1949, Tentara Pelajar sebagai satu pasukan ikut ambil bagian. Arma  ditunjuk sebagai komandan pasukannya, masuk kota bersama pasukan lain dari arah Birugo. Arma lalu ditugaskan untuk mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Jam Gadang bersama temannya, Chaidir Nien Latief.

Markas Tentara Pelajar di Sungai Puar, Desember 1949
(foto arsip Arma Abdoellah)

Berjuang dan Berkarya di Tanah Rantau

Setelah tamat dari SMT, Arma melanjutkan pendidikan ke Universitas Gajah Mada Yogyakarta di Fakultas Pendidikan Djasmani. Arma memilih Pendidikan Djasmani setelah ditolak masuk ke sekolah penerbangan di kota itu. Karena Arma memiliki hobi dan ketertarikan terhadap olahraga dan pendidikan. Akhirnya ia memilih Fakultas Pendidikan Djasmani jurusan pedagogik. Ketertarikannya di bidang olahraga karena memang Arma merupakan seorang yang gemar olahraga yang banyak menggunakan kekuatan fisik, apalagi saat menjadi pelajar masa penjajahan Jepang dan tentara pelajar dia banyak berolahraga sebagai salah satu bentuk latihan fisik. Lalu, alasannya memilih pendidikan dapat dilihat dari sosok ayahnya, Abdoellah, yang merupakan seorang guru di salah satu sekolah di Padang. Pengaruh ayahnya tidak dapat dilepaskan dari ketertarikannya terhadap dunia pendidikan.

       Pilihannya terhadap pendidikan jasmani ini ternyata membawa keterlibatan Arma dalam perhelatan olahraga Asian Games IV dan Ganefo I yang digagas Bung Karno menjelang pertengahan tahun 60 an. Pesta olahraga Asian Games IV di Jakarta merupakan pesta olahraga internasional pertama yang diselenggarakan Indonesia sejak menyatakan merdeka pada tahun 1945. Untuk mewujudkan impian besarnya tersebut di atas, sejak resmi ditunjuk sebagai tuan rumah pemerintah Indonesia mulai melakukan berbagai persiapan supaya dapat menyukseskan sekaligus membuktikan diri atas segala keraguan yang sebelumnya muncul. Soekarno ingin penyelenggaraan Asian Games IV di Jakarta menjadi sebuah national pride dan national dignity, karena hal ini menyangkut prestise bangsa Indonesia di mata internasional. Oleh karena itu, perencanaan dan pembentukan panitia Asian Games harus dikerjakan secara matang melalui berbagai perangkat yang dibentuk dan dilakukan secara bertahap. Presiden mengeluarkan Keppres yang melibatkan unsur kampus dengan mencantumkan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof. Sardjito, sebagai Perwakilan Ketua Penasehat Antar Universitas. Untuk menjalankan tugasnya, Prof. Sardjito memberikan instruksi kepada bagian olahraga yang ada di seluruh perguruan tinggi di Indonesia untuk mempersiapkan beberapa orang yang dinilai mampu untuk membantu menyukseskan Asian Games IV. Arma, selaku Pimpinan Bagian Pendidikan Djasmani yang membawahi bagian olahraga di UGM menerima instruksi tersebut. Arma langsung menyiapkan daftar nama yang akan dibawanya ke Jakarta. Didalamnya ada beberapa dosen Pendidikan Djasmani dan para mahasiswa didikannya. Tim ini bekerja berhari-hari hingga berminggu-minggu sibuk mempersiapkan hal-hal teknis termasuk penyediaan tenaga sebagai wasit dan juri yang memang masih sangat minim. Arma bertindak sebagai salah satu ofisial pertandingan tennis dan hoki lapangan yang digemarinya.

Awal September 1962, ketika Arma tengah fokus membantu perhelatan Asian Games IV, tahu-tahu ia mendapat berita menerima sebuah kabar yang cukup mengejutkan dari Yogyakarta. Universitasnya telah memutuskan akan menjadikan Bagian Pendidikan Djasmani menjadi fakultas tersendiri, dan menunjuk Arma menjadi Dekan. Maka setelah Asien Games berakhir pada 4 September, Arma segera bergegas kembali ke Yogyakarta untuk menata dan membangun Fakultas Pendidikan Djasmani UGM.

Ditengah kesibukannya di kampus, sekitar Juni 1963 Arma menerima telepon dari Menteri Olah Raga, Maladi yang memintanya menghadap ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, Arma langsung diminta menjadi Staf Pribadi Menteri Maladi untuk urusan Ganefo. Ganefo (Games of the New Emerging Forces) adalah ajang olahraga yang digagas oleh Presiden Indonesia, Soekarno, pada akhir tahun 1962 sebagai tandingan Olimpiade. Pasalnya, setelah Asian Games IV Komite Olympiade Internasional menskors Indonesia dengan tidak boleh mengikuti Olympiade Musim Panas 1964 di Tokyo.  Permintaan Menteri Olahraga Maladi kepada Arma tidak langsung diterima begitu saja. “Kenapa saya yang dipilih, Pak? Kan teman-teman dari FPD lain ada”, tanya Arma kepada Maladi. Pertanyaan itu langsung dijawab oleh Maladi dengan mengatakan “Saya telah mempelajari jejak anda, background anda, dan saya memilih anda”. Arma akhirnya menyatakan persetujuannya.

Akhir dari pertemuan itu Arma diminta oleh Maladi untuk langsung mempersiapkan diri dengan amanah barunya. Sebagai Kepala Staf Presiden untuk Ganefo I. Maladi sudah memiliki rencana melobi dan mendatangi beberapa negara untuk berpartisipasi dalam ajang Ganefo I. Selama kurang lebih tiga bulan mereka melancong ke sejumlah negara dengan tujuan awal negara-negara di Eropa Barat dan Eropa Selatan, kemudian berlanjut ke Eropa Tengah, Eropa Timur, dan berakhir di Afrika Utara. Pasca penyelenggaraan Ganefo I, jabatan Staf Pribadi Menteri Olahraga masih diemban oleh Arma. Hingga tahun 1966.

Arma terpilih menjadi Ketua Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Yogyakarta yang didirikan pada tahun 1963. Setelah STO Yogyakarta diintegrasikan dengan IKIP Yogyakarta pada tahun 1977, Arma Abdoellah resmi menjadi dosen di institusi tersebut. Selama di IKIP Yogyakarta, Arma dikenal oleh kalangan dosen ilmu pendidikan olahraga se-Indonesia sebagai ahli dalam bidang Tes Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan Olahraga. Karya dan penelitiannya mengenai hal tersebut telah menjadi rujukan oleh seluruh fakultas keolahragaan yang ada di Indonesia.

Arma Abdoellah kemudian diangkat menjadi Guru Besar IKIP Yogyakarta pada tahun 1979. Pada tahun 1987 Arma Abdoellah terpilih sebagai Rektor IKIP Yogyakarta ke-6. Tugasnya sebagai rektor berakhir pada tahun 1991.

Arma Abdoellah bersama isteri tercintanya
(foto diambil Juli 2011)

Satu tahun setelahnya Arma Abdoellah resmi pensiun sebagai dosen setelah puluhan tahun mengabdi sebagai dosen pendidikan olahraga. Arma Abdoellah menikmati hari tuanya bersama isteri tercinta, Sukati di kediamannya di Perumahan Dosen Boulevard UGM, Yogyakarta. Ia dikaruniai sepasang anak, Amalia (sudah almarhum) dan Zulfikar Arma. 

Sumber Informasi:

  • Skripsi “ARMA ABDOELLAH: DARI TENTARA PELAJAR MENJADI GURU BESAR KESEHATAN JASMANI 1927 – 1992,” Muhammad Caesar Bahari, FIB, UGM Yogyakarta, 2020
  • Interview Arma Abdoellah, 2011, 2021

Ciputat, 4 Januari 2021.

Leave a comment